Permasalahan Qadha-Fidyah Wanita Hamil Dan Menyusui
Permasalahan Qadha-Fidyah Wanita Hamil Dan Menyusui
# Syaikh Muhammad bin Muhammad Al Mukhtar Asy Syinqithi - Beliau adalah pengajar di Masjid Nabawi dan dosen di Universitas Malik Su’ud di Jeddah. Silakan membaca tulisan beliau di web beliau: http://www.shankeety.net - menjelaskan:
Sebelumnya sudah kami katakan bahwa wanita hamil dan menyusui boleh untuk tidak berpuasa, namun apakah mereka meng-qadha?
Mayoritas ulama salaf dan khalaf rahimahumullah mengatakan bahwa wanita hamil dan menyusui tetap wajib meng-qadha jika mereka tidak berpuasa. Baik karena khawatir terhadap dirinya, terhadap anaknya maupun terhadap keduanya. Dalil dari pendapat ini adalah yang menjadi ashlus syari’ah (hukum asal), bahwa kewajiban puasa itu di-qadha. Kemudian, dalil menetapkan bahwa bagi orang yang mendapat udzur sehingga tidak berpuasa, maka diganti di hari lain. Sebagaimana firman Allah Ta’ala:
فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِيضًا أَوْ عَلَىٰ سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ
“Barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain” (QS. Al Baqarah: 184)
Allah Ta’ala mewajibkan orang yang memiliki udzur untuk mengganti puasa di hari lain, maksudnya qadha. Inilah hukum asal yang semestinya menjadi pegangan.
Sebagian salaf berpendapat bahwa mereka tidak perlu meng-qadha, sebagaimana Abdullah Ibnu ‘Abbas dan Abdullah Ibnu Umar rahimahumullah. Mereka berdua berpendapat hanya wajib membayar fidyah saja. Pendapat ini bertentangan dengan hukum asal, karena wanita hamil dan menyusui itu termasuk orang yang mendapat udzur. Sedangkan udzur dalam syariat terbagi menjadi 2:
Pertama, udzur yang permanen yang tidak akan hilang. Misalnya orang sakit yang tidak ada harapan kesembuhan lagi, atau orang tua renta yang tidak mungkin kuat lagi sehingga kuat untuk berpuasa lagi. Pada udzur seperti ini, berlaku hukum asal berupa badal (pengganti) dari puasa, yaitu membayar fidyah.
Kedua, udzur yang tidak permanen. Maka wajib untuk berpegang pada hukum asal, yaitu meng-qadha. Ibnu Umar dan Ibnu ‘Abbas berijtihad bahwa kewajiban qadha telah gugur bagi wanita hamil dan menyusui.
Sebagian ulama muta-akhirin juga berdalil dengan hadits Anas bin Al Ka’bi, bahwa Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
إن الله أسقط عن المسافر الصلاة والصوم وعن المرضع والحامل الصوم
“Sesungguhnya Allah menggugurkan kewajiban shalat dari musafir, dan menggugurkan kewajiban puasa dari orang hamil dan menyusui”
Para ulama berkata, hadits ini diperselisihkan sanadnya. Sebagian ulama ada yang meng-hasan-kan dengan adanya syawahid. Sebagian lagi, seperti Ibnu Turkumani, mengatakan bahwa hadits ini mudhtharib secara sanad maupun matan, karena pada sebagian riwayat terdapat perkataan Anas bin Ka’bi:
لا أدري أقالهما جميعا أو أحدهما
“Saya tidak yakin apakah Rasulullah mengatakan yang pertama atau yang kedua”
Sehingga diragukan apakah puasa yang gugur itu dari musafir berserta wanita hamil dan menyusui, ataukah khusus hanya musafir saja? Justru hadits ini dapat berbalik menjadi dalil bagi pendapat jumhur. Karena Nabi menjelaskan bahwa Allah menggugurkan shalat dan puasa bagi musafir, maksudnya ‘digugurkan sebagian shalat -dengan mengQashar-, bukan semua shalat’. Dan berdasarkan ijma, musafir boleh untuk tidak berpuasa, kemudian menggantinya di hari lain, sebagaimana firman Allah Ta’ala:
فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِيضًا أَوْ عَلَىٰ سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ
“Barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain” (QS. Al Baqarah: 184)
Keringanan separuh shalat tentu saja khusus bagi musafir. Para ulama tidak ada beda pendapat mengenai wanita hamil dan menyusui bahwa mereka tidak dibolehkan mengqoshor shalat. ...
Keringanan puasa bagi wanita hamil dan menyusui sama halnya dengan keringanan puasa bagi musafir. ... Dan telah diketahui bahwa keringanan puasa bagi musafir yang tidak berpuasa adalah mengqodhonya, tanpa adanya fidyah. Maka berlaku pula yang demikian pada wanita hamil dan menyusui. Dari sini juga menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan antara wanita hamil dan menyusui jika keduanya khawatir membahayakan dirinya atau anaknya (ketika mereka berpuasa) yaitu dengan mengqadha puasa, tanpa adanya fidyah karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri tidak merinci hal ini.Jika dengan hadits ini berdalil bahwa wanita hamil dan menyusui itu membayar fidyah saja tanpa qadha, ini adalah pendalilan yang lemah.
Yang benar adalah pendapat jumhur salaf dan khalaf serta para imam rahimahumullah, dan juga pendapat yang dinukil dari sejumlah imam dari tabi’in dan imam madzhab yang empat, bahwa wanita yang hamil dan menyusui tetap wajib meng-qadha.
Bahkan ini juga merupakan pendapat dari sejumlah murid Ibnu ‘Abbas, dan mereka menyelisihi Ibnu ‘Abbas dalam hal ini. Apa yang menjadi pendapat Ibnu ‘Abbas dan juga pendapat Ibnu Umar -- Syaikh Muhammad Al Mukhtar berkata: “Bagi yang mengira bahwa yang berpendapat demikian hanya Ibnu ‘Abbas saja, mungkin dia belum menelaah keshahihan sanad dari Ibnu Umar” --, pendapat sahabat jika mengandung kemungkinan ijtihad, padahal hukum asal dari Qur’an dan Sunnah mengatakan lain, sedangkan berlakunya hukum asal ini dikuatkan dengan pemahaman yang shahih, maka wajib untuk tetap berpegang pada hukum asal, dalam rangka wara’ kepada nash-nash dalil. Lebih lagi, mayoritas ulama salaf dan para imam rahimahumullah tidak mengamalkan fatwa Ibnu ‘Abbas dan Ibnu Umar radhiallahu’anhuma. Karena dalil telah jelas menunjukkan bahwa orang tidak mampu menunaikan ibadah wajib pada suatu waktu, namun mampu menunaikannya di waktu lain, tidaklah gugur kewajiban untuk menunaikan ibadah wajib tersebut. Maksudnya, tidak gugur secara keseluruhan.
Hanya gugur ketika ia tidak mampu, namun ganti di kesempatan lain. Hukum asal ini berlaku bagi shalat (diperbolehkannya melakukan Jama' Qashar bagi mushafir), puasa dan lainnya yang termasuk ibadah badaniyyah. Kesimpulannya, wanita hamil dan menyusui wajib untuk meng-qadha.
Kemudian para ulama berbeda pendapat apakah mereka membayar fidyah atau tidak?
Dalam masalah ini ada 3 pendapat yang masyhur diantara imam madzhab yang empat -rahimahumullah- :
Pertama, wajib meng-qadha dan membayar fidyah jika khawatir kepada anaknya. Ini pendapat madzhab Asy Syafi’i, madzhab Hambali, pendapat Mujahid rahimahumullah.
Kedua, mereka meng-qadha saja tanpa membayar fidyah. Ini adalah pendapat sejumlah imam salaf seperti Ibrahim An Nakha’i, Al Hasan Al Bashri, Imam Muhammad Ibnu Syihab Az Zuhri, Sufyan Ats Tsauri, Abu Tsaur, Ibrahim bin Khalid bin Yazid Al Kalbi, Abu Ubaid Al Qasim bin Salam, Abu Hanifah dan murid-muridnya, yaitu hanya wajib meng-qadha saja. Pendapat ini sangat kuat dilihat dari sisi dalil dan kecocokan terhadap hukum asal.
Adapun Imam Asy Syafi’i dan Imam Ahmad menggabungkan hukum asal dengan fatwa Ibnu ‘Abbas dan Ibnu Umar, sehingga mereka berpendapat wajib qadha dan fidyah. Namun dari sisi dalil dan kekuatan pendalilan, tidak ragu lagi bahwa pendapat kedua ini lebih kuat dan lebih mendekari kebenaran, insya Allah Ta’ala
Imam Ahmad rahimahullah berpendapat demikian kaeran beliau itu sangat wara’(hati-hati). Maka pendapat adanya tambahan fidyah selain qadha, ini pendapat yang wara’. Jika ada yang berpendapat bahwa wanita hamil dan menyusui, khususnya jika udzur berkaitan dengan orang lain semisal anak yang disusui, selain meng-qadha mereka juga membayar fidyah, ini lebih afdhal.
Ketiga, pendapat Imam Malik rahimahullah yang merinci: wanita hamil mutlak wajib meng-qadha tanpa fidyah, sedangkan wanita menyusui jika khawatir pada anak yang disusui, wajib meng-qadha dan membayar fidyah, jika hanya khawatir pada diri sendiri, hanya qadha. Beliau menganggap bahwa udzur yang ada pada wanita hamil dan janinnya itu muttashil (berhubungan), sedangkan udzur pada wanita menyusui dan anak yang disusui itu munfashil (tidak berhubungan). Yang muttashil tidak wajib fidyah, dan yang munfashil wajib fidyah.
Bagaimanapun, pendapat yang kuat sebagaimana telah kami jelaskan adalah pendapat kedua, wajib qadha tanpa fidyah.
# Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baaz rahimahullah ketika ditanya tentang hal ini beliau menjawab:
“Wanita hamil dan menyusui sebagaimana hukumnya orang sakit. Jika mereka mendapat kesulitan dengan berpuasa, mereka boleh untuk tidak berpuasa. Lalu mereka wajib untuk meng-qadha setiap harinya sesuai kemampuan mereka, sebagaimana orang sakit. Sebagian ulama berpendapat bahwa mereka hanya wajib membayar fidyah. Pendapat ini yang sangat lemah. Yang benar, mereka wajib meng-qadha sebagaimana musafir dan orang sakit.
Berdasarkan firman Allah Ta’ala:
فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِيضًا أَوْ عَلَىٰ سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ
“Barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain” (QS. Al Baqarah: 184)
Hal ini juga berdasarkan hadits Anas bin Malik Al Ka’bi, bahwa Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
إن الله وضع عن المسافر الصوم وشطر الصلاة، وعن الحبلى والمرضع الصوم
‘Allah Ta’ala menggugurkan puasa dan sebagian shalat bagi musafir. Dan menggugurkan puasa dari wanita hamil‘ (HR. Al Khamsah)”
[Maj'mu Fatawa Wal Maqalah Mutanawwi'ah, juz 15, dinukil dari http://binbaz.org.sa/mat/476 ]
#Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin rahimahullah juga berpendapat wajibnya qadha untuk semua keadaan wanita hamil dan menyusui, namun nampaknya beliau berpegang pada pendapat mazhab Hambali yaitu adanya fidyah jika wanita hamil atau menyusui khawatir pada anaknya. Beliau berkata:
“Dalam setiap keadaan, tetap wajib meng-qadha. Karena Allah Ta’ala telah mewajibkan puasa kepada setiap muslim. Dan Allah berfirman kepada musafir dan orang sakit:
فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ
Padahal musafir dan orang sakit boleh tidak puasa karena adanya udzur, namun qadha tidak gugur bagi mereka. Dengan demikian, orang yang mendapat udzur namun dalam keadaan santai itu min bab al aula (lebih layak) untuk tidak gugur qadha-nya.
Adapun tentang fidyah, ada tiga kondisi:
Pertama, jika khawatir pada dirinya sendiri, wajib meng-qadha saja, tidak ada tambahan lain.
Kedua, jika khawatir pada janin atau anak yang di susui, wajib meng-qadha dan membayar fidyah. Wajib meng-qadha, sudah jelas perkaranya, karena mereka tidak berpuasa. Adapun fidyah, dikarenakan mereka tidak berpuasa dalam rangka kemaslahatan orang lain, sehingga wajib membayar fidyah.
Ibnu Abbas -radhiallahu’anhu- menafsirkan ayat :
وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ
“Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin” (QS. Al Baqarah: 184)
Ibnu Abbas berkata:
كانت رخصة للشيخ الكبير والمرأة الكبيرة وهما يطيقان الصيام يفطران ويطعمان عن كل يوم مسكيناً، والمرضع والحبلى إذا خافتا على أولادهما أفطرتا وأطعمتا” ، رواه أبو داود
‘Ini merupakan keringanan bagi orang tua renta, yang mereka tidak mampu berpuasa, mereka membayar fidyah. Dan juga hamil dan wanita menyusui jika khawatir kepada anaknya, maka mereka juga boleh tidak puasa dan membayar fidyah‘ (HR. Abu Daud)
Hal ini juga diriwayatkan dari Ibnu ‘Umar
Ketiga, jika khawatir pada janin yang dikandung -penulis zaadul mustaqni tidak menyebut kondisi ini, mazhab hambali juga masukkan hal ini sebagai maslahah sang ibu- , wajib baginya untuk meng-qadha”
[Dinukil dari Syarhul Mumti' Syarh Zaadil Mustaqni, 6/223]
Terdapat riwayat dalam Al Mushannaf Abdurrazaq (4/218) bahwa Ibnu ‘Abbas radhiallahu’anhu memiliki pendapat lain yaitu beliau mewajibkan qadha tanpa fidyah.
عن الثوري ، وعن ابن جريج عن عطاء عن ابن عباس قال : تفطر الحامل والمرضع في رمضان ، وتقضيان صياما ولا تطعمان
“Dari Ats Tsauri, dari Ibnu Juraij, dan Atha’, dari Ibnu Abbas, beliau berkata: ‘Wanita hamil dan menyusui boleh berbuka di bulan Ramadhan, mereka berdua wajib meng-qadha tanpa fidyah‘”
Riwayat ini sanadnya shahih, semua perawinya tsiqah dan merupakan para perawi yang dipakai Bukhari-Muslim. Adapun Ibnu Juraij yang sering melakukan tadlis, karena dalam riwayat ini ia meriwayatkan secara ‘an’anah dari ‘Atha, maka dianggap sebagai sima’ dan tetap diterima. Sebagaimana diketahui dalam ilmu hadits, jika mudallis meriwayatkan dengan ‘an’anah dari orang yang ia biasa diambil haditsnya oleh perawinya, maka tetap diterima.
Karena tidak diketahui mana pendapat Ibnu ‘Abbas yang terakhir, maka dapat kita katakan bahwa dalam hal ini Ibnu ‘Abbas memiliki 2 pendapat. Wallahu’alam.
Terdapat juga riwayat lain dalam Sunan Al Kubra Al Baihaqi, dari Ibnu ‘Umar bahwa beliau meralat pendapatnya. Beliau ruju’ kepada pendapat mewajibkan qadha saja tanpa fidyah.
عن ابن عمر أن امرأة حبلى صامت في رمضان فاستعطشت ، فسئل عنها ابن عمر : فأمرها أن تفطر وتطعم كل يوم مسكينا مدا ثم لا يجزيها فإذا صحت قضت
“Dari Ibnu Umar, ada seorang wanita hamil yang berpuasa di bulan Ramadhan, kemudian ia melahirkan. Wanita ini bertanya kepada Ibnu ‘Umar, lalu beliau memerintahkan wanita tersebut untuk tidak berpuasa dan membayar fidyah. Kemudian setelah itu, Ibnu ‘Umar tidak membolehkannya, ia memerintahkan jika ia sudah sehat ia wajib meng-qadha” (HR. Al Baihaqi dalam Sunan Al Kubra, 4/230)
Syaikh Abu ‘Umar Usamah Al’Utaibi menyatakan bahwa sanad riwayat tersebut terdapat kritikan. Karena dalam sanadnya terdapat Muhammad bin Abdirrahman bin Abi Labibah. Ibnu Hajar berkata: “Ia lemah, sering memursalkan hadits” (Taqrib At Tahdzib, no.6080).
Terdapat penguat dari riwayat lain untuk riwayat Ibnu ‘Abbas dalam Al Muhalla (4/251) milik Ibnu Hazm:
كَمَا رُوِّينَا مِنْ طَرِيقِ عَبْدِ الرَّزَّاقِ عَنْ ابْنِ جُرَيْجٍ عَنْ عَطَاءٍ عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ: تُفْطِرُ الْحَامِلُ، وَالْمُرْضِعُ فِي رَمَضَانَ وَيَقْضِيَانِهِ صِيَامًا وَلا إطْعَامَ عَلَيْهِمَا
“Sebagaimana yang kami riwayatkan, dari Abdurrazaq, dari Ibnu Juraij, dari ‘Atha, dari Ibnu ‘Abbas, beliau berkata: ‘Wanita hamil dan menyusui boleh berbuka di bulan Ramadhan, mereka berdua wajib meng-qadha tanpa fidyah‘”
Menurut Syaikh Abu ‘Umar Usamah Al’Utaibi, adanya kesamaan sanad antara riwayat ini dengan riwayat Ibnu ‘Umar dalam Sunanul Kubra Al Baihaqi, ada 2 kemungkinan:
Pertama, mungkin ‘Abdurrazaq salah dalam menyebut Ats Tsauri
Kedua, mungkin Ats Tsauri Ibnu ‘Abbas memiliki fatwa serupa dengan Ibnu ‘Umar Ibnu ‘Abbas5.
Kedua kemungkinan ini tidak menafikan keshahihan sanadnya.
Dengan demikian, pendapat yang menyatakan wajib qadha tanpa fidyah untuk semua keadaan didukung pula oleh Ibnu ‘Abbas dan Ibnu ‘Umar, bahkan Ibnu ‘Abbas menyatakan meralat pendapatnya. Ini pun sekaligus membantah pendapat adanya fidyah bagi yang khawatir kepada anaknya.
***BATASAN QADHA PUASA***
Barangsiapa yang belum mengqadha puasa Ramadhan yang lalu, kemudian sudah datang lagi Ramadhan berikutnya, maka harus dilihat dulu alasan penundaan (ta`khir) qadha tersebut. Jika penundaan itu karena ada udzur (alasan syar’i), seperti sakit, nifas, menyusui, atau hamil, maka tidak mengapa. Demikian menurut SELURUH MAZHAB TANPA ADA PERBEDAAN PENDAPAT, sebab yang bersangkutan dimaafkan karena ada udzur dalam penundaan qadha`-nya.
Namun jika penundaan qadha` itu tanpa ada udzur, maka para ulama berbeda pendapat dalam dua pendapat :
Pendapat Pertama, pendapat jumhur, yaitu Imam Malik, Ats-Tsauri, Asy-Syafi’i, Ahmad, dan lain-lain berpendapat orang tersebut di samping tetap wajib mengqadha`, dia wajib juga membayar fidyah, yaitu memberi makan seorang miskin untuk setiap hari dia tidak berpuasa. Fidyah ini adalah sebagai kaffarah (penebus) dari penundaan qadha`-nya. Demikian penuturan Imam Ibnu Qudamah dalam kitabnya Al-Mughni Ma’a Asy-Syarh Al-Kabir, II/81 (Dikutip oleh Yusuf al-Qaradhawi, Fiqhush Shiyam, [Kairo : Darush Shahwah], 1992, hal. 64).
Pendapat pertama ini terbagi lagi menjadi dua : (1) Menurut ulama Syafi’iyah, fidyah tersebut berulang dengan berulangnya Ramadhan (Abdurrahman Al-Jaziri, Al-Fiqh Ala al-Mazahib Al-Arba’ah Kitabush Shiyam (terj), hal. 109). (2) Sedangkan menurut ulama Malikiyah dan Hanabilah, fidyah hanya sekali, yakni tidak berulang dengan berulangnya Ramadhan (Wahbah Az-Zuhaili, Al-Fiqhul Islami wa Adillatuhu, II/680).
Dalil pendapat pertama ini, yakni yang mewajibkan fidyah di samping qadha karena adanya penundaan qadha` hingga masuk Ramadhan berikutnya, adalah perkataan sejumlah sahabat, seperti Ibnu Umar, Ibnu Abbas, dan Abu Hurairah (Imam Syaukani, Nailul Authar, [Beirut : Dar Ibn Hazm], 2000, hal. 872). Ath-Thahawi dalam masalah ini meriwayatkan dari Yahya bin Aktsam,”Aku mendapati pendapat ini dari enam sahabat yang tidak aku ketahui dalam masalah ini ada yang berbeda pendapat dengan mereka.” (wajadtuhu ‘an sittin min ash-shahabati laa a‘lamu lahum fiihi mukhalifan).(Mahmud Abdul Latif Uwaidhah, Al-Jami’ li Ahkam Ash-Shiyam, [Beirut : Mu`assasah Ar-Risalah], 2002, hal. 210).
Imam Syaukani menjelaskan dalil lain bagi pendapat pertama ini. Yaitu sebuah riwayat dengan isnad dhaif dari Abu Hurairah RA dari Nabi SAW tentang seorang laki-laki yang sakit di bulan Ramadhan lalu dia tidak berpuasa, kemudian dia sehat namun tidak mengqadha` hingga datang Ramadhan berikutnya. Maka Nabi SAW bersabda,”Dia berpuasa untuk bulan Ramadhan yang menyusulnya itu, kemudian dia berpuasa untuk bulan Ramadhan yang dia berbuka padanya dan dia memberi makan seorang miskin untuk setiap hari [dia tidak berpuasa].” (yashuumu alladziy adrakahu tsumma yashuumu asy-syahra alladziy afthara fiihi wa yuth’imu kulla yaumin miskiinan). (HR Ad-Daruquthni, II/197). (Imam Syaukani, Nailul Authar, hal. 871; Wahbah Az-Zuhaili, Al-Fiqhul Islami wa Adillatuhu, II/689).
Pendapat Kedua, pendapat Imam Abu Hanifah dan para sahabatnya, Imam Ibrahim An-Nakha`i, Imam al-Hasan Al-Bashri, Imam Al-Muzani (murid Asy-Syafi’i), dan Imam Dawud bin Ali. Mereka mengatakan bahwa orang yang menunda qadha` hingga datang Ramadhan berikutnya, tidak ada kewajiban atasnya selain qadha`. Tidak ada kewajiban membayar kaffarah (fidyah) (Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid, I/240; Wahbah Az-Zuhaili, Al-Fiqhul Islami wa Adillatuhu, II/240; Mahmud Abdul Latif Uwaidhah, Al-Jami’ li Ahkam Ash-Shiyam, hal. 210).
Dalil ulama Hanafiyah ini sebagaimana dijelaskan Wahbah Az-Zuhaili dalam Al-Fiqhul Islami wa Adillatuhu (II/240). adalah kemutlakan nash Al-Qur`an yang berbunyi “fa-‘iddatun min ayyamin ukhar” yang berarti “maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain.” (QS Al-Baqarah [2] : 183).
Perlu ditambahkan bahwa dalam masalah menunda qadha` (ta`khir al-qadha`), Imam Abu Hanifah memang membolehkan qadha` puasa Ramadhan kapan saja walau pun sudah datang lagi bulan Ramadhan berikutnya. Dalilnya adalah kemutlakan nash Al-Baqarah : 183. Dalam kitab Al-Jami’ li Ahkam Ash-Shiyam, hal. 122, dinukilkan oleh penulisnya bahwa Imam Abu Hanifah berkata,”Kewajiban mengqadha puasa Ramadhan adalah kewajiban yang lapang waktunya tanpa ada batasan tertentu, walaupun sudah masuk Ramadhan berikutnya.” (wujuubu al-qadhaa`i muwassa’un duuna taqyiidin walaw dakhala ramadhan ats-tsaniy).
Sedang jumhur berpendapat bahwa penundaan qadha` selambat-lambatnya adalah hingga bulan Sya’ban dan tidak boleh sampai masuk Ramadhan berikutnya. Dalil pendapat jumhur ini adalah hadits yang diriwayatkan oleh At-Tirmidzi, Ibnu Khuzaimah, dan Ahmad dari ‘A`isyah RA dia berkata,”Aku tidaklah mengqadha` sesuatu pun dari apa yang wajib atasku dari bulan Ramadhan, kecuali di bulan Sya’ban hingga wafatnya Rasulullah SAW.” (maa qadhaytu syai`an mimmaa yakuunu ‘alayya min ramadhaana illaa sya’baana hatta qubidha rasulullahi shallallahu ‘alaihi wa sallama) (Mahmud Abdul Latif Uwaidhah, Al-Jami’ li Ahkam Ash-Shiyam, [Beirut : Mu`assasah Ar-Risalah], 2002, hal. 122).
Mengenai wajib tidaknya fidyah atas orang yang menunda qadha` Ramadhan hingga datang Ramadhan berikutnya, pendapat yang rajih adalah pendapat Imam Abu Hanifah, Ibrahim An-Nakha`i, dan lain-lain. Pendapat ini menyatakan bahwa orang yang menunda qadha` hingga masuk Ramadhan, hanya berkewajiban qadha`, tidak wajib membayar fidyah.
Hal itu dikarenakan kewajiban membayar fidyah bagi orang yang menunda qadha` Ramadhan hingga masuk Ramadhan berikutnya, membutuhkan adanya dalil khusus dari nash-nash syara’. Padahal tidak ditemukan nash yang layak menjadi dalil untuk kewajiban fidyah itu. (Mahmud Abdul Latif Uwaidhah, Al-Jami’ li Ahkam Ash-Shiyam, hal.210).
Adapun dalil hadits Abu Hurairah yang dikemukakan, adalah hadits dhaif yang tidak layak menjadi hujjah (dalil). Imam Syaukani berkata,”…telah kami jelaskan bahwa tidak terbukti dalam masalah itu satu pun [hadits shahih] dari Nabi SAW.” (Imam Syaukani, Nailul Authar, hal. 872). Yusuf al-Qaradhawi meriwayatkan tarjih serupa dari Shiddiq Hasan Khan dalam kitabnya Ar-Raudatun An-Nadiyah (I/232),”…tidak terbukti dalam masalah itu sesuatu pun [hadits sahih] dari Nabi SAW.” (Yusuf Al-Qaradhawi, Fiqhush Shiyam, hal. 64).
Pendapat beberapa sahabat yang mendasari kewajiban fidyah itu, adalah dasar yang lemah. Sebab pendapat sahabat –yang dalam ushul fiqih disebut dengan mazhab ash-shahabi atau qaul ash-shahabi— bukanlah hujjah (dalil syar’i) yang layak menjadi sumber hukum Islam. Imam Syaukani berkata,”Pendapat yang benar bahwa qaul ash-shahabi bukanlah hujjah [dalil syar’i].” (Imam Syaukani, Irsyadul Fuhul, hal. 243). Imam Taqiyuddin an-Nabhani menegaskan,”…mazhab sahabat tidak termasuk dalil syar’i.” (Taqiyuddin An-Nabhani, Asy-Syakhshiyyah Al-Islamiyah, III/411).
Mengenai periwayatan ath-Thahawi dari Yahya bin Aktsam bahwa dia berkata,”Aku mendapati pendapat ini dari enam sahabat yang tidak aku ketahui dalam masalah ini ada yang berbeda pendapat dengan mereka”, tidaklah dapat diterima. Mahmud Abdul Latif Uwaidhah dalam Al-Jami’ li Ahkam Ash-Shiyam hal.210 mengatakan,”Sesungguhnya riwayat-riwayat dari sahabat ini tidaklah terbukti, sebab riwayat-riwayat itu berasal dari jalur-jalur riwayat yang lemah [dhaif]. Maka ia wajib ditolak dan tidak boleh ditaqlidi atau diikuti.”
***KESIMPULAN***
1. Wanita hamil dan menyusui wajib mengqadha puasa di hari lain. ini pendapat dari SELURUH MAZHAB DAN JUMHUR ULAMA SALAF. Pengecualian bagi yang hanya khawatir terhadap anaknya atau janinnya sedangkan ia sendiri MAMPU, menurut mazhab hambali selain qadha juga membyar fidyah. dan pendapat mazhab syafi'i utk membayar fidyah + qadha berlaku khusus bagi ibu menyusui, sedang bagi ibu hamil cukup qadha saja.
** setelah kami pelajari dari ilmu laktasi memang kualitas dan kuantitas ASI tidak berubah saat puasa. Selama ibu bisa menjaga stabilnya hormon prolaktin dan oksitosin, produksi ASI pun tetap stabil sehingga, tidak ada yg perlu dikhawatirkan dengan ASInya. (cek dokumen Sukses NgASI, Sukses Puasa : http://www.facebook.com/groups/tanya.asi/doc/10150983992211026/).
** Bagi wanita hamil nutrisi janin akan mengambil nutrisi dari cadangan di tubuh ibu, jadi selama selama ibu sehat dan mampu/kuat maka bukan halangan untuk berpuasa.
2. Perihal batasan qadha puasa, pendapat yang paling kuat adalah bahwa membayar qadha diutamakan untuk disegerakan dan dilakukan sampai dengan menjelang ramadhan berikutnya. Jika tidak, maka berdosa sehingga wajib bertaubat namun tetap mengqadha pada hari lain walau telah melewati bulan ramadhan lagi. Tetapi bagi yang mempunyai udzur (misal: menyusui & hamil) sehingga belum mampu untuk menunaikan qadha sampai dengan ramadhan berikutnya maka dia tidak berdosa dan tetap mengqadha puasa di hari lain. akan tetapi ada juga pendapat dari sebagian ulama bahwa jika sampai dengan ramadhan berikutnya belum mengqadha puasa sedangkan dia tidak mempunyai udzur, maka wajib pula baginya membayar fidyah selain qadha.
wallahua'lam bish-shawab
ref:
- http://www.ahlalhdeeth.com/vb/showthread.php?t=4563
- http://kangaswad.wordpress.com/2010/08/05/permasalahan-qadha-fidyah-wanita-hamil-dan-menyusui/
- http://rumaysho.com/hukum-islam/puasa/3165-apakah-wanita-hamil-dan-menyusui-cukup-fidyah-tanpa-qodho.html
# Syaikh Muhammad bin Muhammad Al Mukhtar Asy Syinqithi - Beliau adalah pengajar di Masjid Nabawi dan dosen di Universitas Malik Su’ud di Jeddah. Silakan membaca tulisan beliau di web beliau: http://www.shankeety.net - menjelaskan:
Sebelumnya sudah kami katakan bahwa wanita hamil dan menyusui boleh untuk tidak berpuasa, namun apakah mereka meng-qadha?
Mayoritas ulama salaf dan khalaf rahimahumullah mengatakan bahwa wanita hamil dan menyusui tetap wajib meng-qadha jika mereka tidak berpuasa. Baik karena khawatir terhadap dirinya, terhadap anaknya maupun terhadap keduanya. Dalil dari pendapat ini adalah yang menjadi ashlus syari’ah (hukum asal), bahwa kewajiban puasa itu di-qadha. Kemudian, dalil menetapkan bahwa bagi orang yang mendapat udzur sehingga tidak berpuasa, maka diganti di hari lain. Sebagaimana firman Allah Ta’ala:
فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِيضًا أَوْ عَلَىٰ سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ
“Barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain” (QS. Al Baqarah: 184)
Allah Ta’ala mewajibkan orang yang memiliki udzur untuk mengganti puasa di hari lain, maksudnya qadha. Inilah hukum asal yang semestinya menjadi pegangan.
Sebagian salaf berpendapat bahwa mereka tidak perlu meng-qadha, sebagaimana Abdullah Ibnu ‘Abbas dan Abdullah Ibnu Umar rahimahumullah. Mereka berdua berpendapat hanya wajib membayar fidyah saja. Pendapat ini bertentangan dengan hukum asal, karena wanita hamil dan menyusui itu termasuk orang yang mendapat udzur. Sedangkan udzur dalam syariat terbagi menjadi 2:
Pertama, udzur yang permanen yang tidak akan hilang. Misalnya orang sakit yang tidak ada harapan kesembuhan lagi, atau orang tua renta yang tidak mungkin kuat lagi sehingga kuat untuk berpuasa lagi. Pada udzur seperti ini, berlaku hukum asal berupa badal (pengganti) dari puasa, yaitu membayar fidyah.
Kedua, udzur yang tidak permanen. Maka wajib untuk berpegang pada hukum asal, yaitu meng-qadha. Ibnu Umar dan Ibnu ‘Abbas berijtihad bahwa kewajiban qadha telah gugur bagi wanita hamil dan menyusui.
Sebagian ulama muta-akhirin juga berdalil dengan hadits Anas bin Al Ka’bi, bahwa Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
إن الله أسقط عن المسافر الصلاة والصوم وعن المرضع والحامل الصوم
“Sesungguhnya Allah menggugurkan kewajiban shalat dari musafir, dan menggugurkan kewajiban puasa dari orang hamil dan menyusui”
Para ulama berkata, hadits ini diperselisihkan sanadnya. Sebagian ulama ada yang meng-hasan-kan dengan adanya syawahid. Sebagian lagi, seperti Ibnu Turkumani, mengatakan bahwa hadits ini mudhtharib secara sanad maupun matan, karena pada sebagian riwayat terdapat perkataan Anas bin Ka’bi:
لا أدري أقالهما جميعا أو أحدهما
“Saya tidak yakin apakah Rasulullah mengatakan yang pertama atau yang kedua”
Sehingga diragukan apakah puasa yang gugur itu dari musafir berserta wanita hamil dan menyusui, ataukah khusus hanya musafir saja? Justru hadits ini dapat berbalik menjadi dalil bagi pendapat jumhur. Karena Nabi menjelaskan bahwa Allah menggugurkan shalat dan puasa bagi musafir, maksudnya ‘digugurkan sebagian shalat -dengan mengQashar-, bukan semua shalat’. Dan berdasarkan ijma, musafir boleh untuk tidak berpuasa, kemudian menggantinya di hari lain, sebagaimana firman Allah Ta’ala:
فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِيضًا أَوْ عَلَىٰ سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ
“Barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain” (QS. Al Baqarah: 184)
Keringanan separuh shalat tentu saja khusus bagi musafir. Para ulama tidak ada beda pendapat mengenai wanita hamil dan menyusui bahwa mereka tidak dibolehkan mengqoshor shalat. ...
Keringanan puasa bagi wanita hamil dan menyusui sama halnya dengan keringanan puasa bagi musafir. ... Dan telah diketahui bahwa keringanan puasa bagi musafir yang tidak berpuasa adalah mengqodhonya, tanpa adanya fidyah. Maka berlaku pula yang demikian pada wanita hamil dan menyusui. Dari sini juga menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan antara wanita hamil dan menyusui jika keduanya khawatir membahayakan dirinya atau anaknya (ketika mereka berpuasa) yaitu dengan mengqadha puasa, tanpa adanya fidyah karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri tidak merinci hal ini.Jika dengan hadits ini berdalil bahwa wanita hamil dan menyusui itu membayar fidyah saja tanpa qadha, ini adalah pendalilan yang lemah.
Yang benar adalah pendapat jumhur salaf dan khalaf serta para imam rahimahumullah, dan juga pendapat yang dinukil dari sejumlah imam dari tabi’in dan imam madzhab yang empat, bahwa wanita yang hamil dan menyusui tetap wajib meng-qadha.
Bahkan ini juga merupakan pendapat dari sejumlah murid Ibnu ‘Abbas, dan mereka menyelisihi Ibnu ‘Abbas dalam hal ini. Apa yang menjadi pendapat Ibnu ‘Abbas dan juga pendapat Ibnu Umar -- Syaikh Muhammad Al Mukhtar berkata: “Bagi yang mengira bahwa yang berpendapat demikian hanya Ibnu ‘Abbas saja, mungkin dia belum menelaah keshahihan sanad dari Ibnu Umar” --, pendapat sahabat jika mengandung kemungkinan ijtihad, padahal hukum asal dari Qur’an dan Sunnah mengatakan lain, sedangkan berlakunya hukum asal ini dikuatkan dengan pemahaman yang shahih, maka wajib untuk tetap berpegang pada hukum asal, dalam rangka wara’ kepada nash-nash dalil. Lebih lagi, mayoritas ulama salaf dan para imam rahimahumullah tidak mengamalkan fatwa Ibnu ‘Abbas dan Ibnu Umar radhiallahu’anhuma. Karena dalil telah jelas menunjukkan bahwa orang tidak mampu menunaikan ibadah wajib pada suatu waktu, namun mampu menunaikannya di waktu lain, tidaklah gugur kewajiban untuk menunaikan ibadah wajib tersebut. Maksudnya, tidak gugur secara keseluruhan.
Hanya gugur ketika ia tidak mampu, namun ganti di kesempatan lain. Hukum asal ini berlaku bagi shalat (diperbolehkannya melakukan Jama' Qashar bagi mushafir), puasa dan lainnya yang termasuk ibadah badaniyyah. Kesimpulannya, wanita hamil dan menyusui wajib untuk meng-qadha.
Kemudian para ulama berbeda pendapat apakah mereka membayar fidyah atau tidak?
Dalam masalah ini ada 3 pendapat yang masyhur diantara imam madzhab yang empat -rahimahumullah- :
Pertama, wajib meng-qadha dan membayar fidyah jika khawatir kepada anaknya. Ini pendapat madzhab Asy Syafi’i, madzhab Hambali, pendapat Mujahid rahimahumullah.
Kedua, mereka meng-qadha saja tanpa membayar fidyah. Ini adalah pendapat sejumlah imam salaf seperti Ibrahim An Nakha’i, Al Hasan Al Bashri, Imam Muhammad Ibnu Syihab Az Zuhri, Sufyan Ats Tsauri, Abu Tsaur, Ibrahim bin Khalid bin Yazid Al Kalbi, Abu Ubaid Al Qasim bin Salam, Abu Hanifah dan murid-muridnya, yaitu hanya wajib meng-qadha saja. Pendapat ini sangat kuat dilihat dari sisi dalil dan kecocokan terhadap hukum asal.
Adapun Imam Asy Syafi’i dan Imam Ahmad menggabungkan hukum asal dengan fatwa Ibnu ‘Abbas dan Ibnu Umar, sehingga mereka berpendapat wajib qadha dan fidyah. Namun dari sisi dalil dan kekuatan pendalilan, tidak ragu lagi bahwa pendapat kedua ini lebih kuat dan lebih mendekari kebenaran, insya Allah Ta’ala
Imam Ahmad rahimahullah berpendapat demikian kaeran beliau itu sangat wara’(hati-hati). Maka pendapat adanya tambahan fidyah selain qadha, ini pendapat yang wara’. Jika ada yang berpendapat bahwa wanita hamil dan menyusui, khususnya jika udzur berkaitan dengan orang lain semisal anak yang disusui, selain meng-qadha mereka juga membayar fidyah, ini lebih afdhal.
Ketiga, pendapat Imam Malik rahimahullah yang merinci: wanita hamil mutlak wajib meng-qadha tanpa fidyah, sedangkan wanita menyusui jika khawatir pada anak yang disusui, wajib meng-qadha dan membayar fidyah, jika hanya khawatir pada diri sendiri, hanya qadha. Beliau menganggap bahwa udzur yang ada pada wanita hamil dan janinnya itu muttashil (berhubungan), sedangkan udzur pada wanita menyusui dan anak yang disusui itu munfashil (tidak berhubungan). Yang muttashil tidak wajib fidyah, dan yang munfashil wajib fidyah.
Bagaimanapun, pendapat yang kuat sebagaimana telah kami jelaskan adalah pendapat kedua, wajib qadha tanpa fidyah.
# Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baaz rahimahullah ketika ditanya tentang hal ini beliau menjawab:
“Wanita hamil dan menyusui sebagaimana hukumnya orang sakit. Jika mereka mendapat kesulitan dengan berpuasa, mereka boleh untuk tidak berpuasa. Lalu mereka wajib untuk meng-qadha setiap harinya sesuai kemampuan mereka, sebagaimana orang sakit. Sebagian ulama berpendapat bahwa mereka hanya wajib membayar fidyah. Pendapat ini yang sangat lemah. Yang benar, mereka wajib meng-qadha sebagaimana musafir dan orang sakit.
Berdasarkan firman Allah Ta’ala:
فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِيضًا أَوْ عَلَىٰ سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ
“Barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain” (QS. Al Baqarah: 184)
Hal ini juga berdasarkan hadits Anas bin Malik Al Ka’bi, bahwa Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
إن الله وضع عن المسافر الصوم وشطر الصلاة، وعن الحبلى والمرضع الصوم
‘Allah Ta’ala menggugurkan puasa dan sebagian shalat bagi musafir. Dan menggugurkan puasa dari wanita hamil‘ (HR. Al Khamsah)”
[Maj'mu Fatawa Wal Maqalah Mutanawwi'ah, juz 15, dinukil dari http://binbaz.org.sa/mat/476 ]
#Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin rahimahullah juga berpendapat wajibnya qadha untuk semua keadaan wanita hamil dan menyusui, namun nampaknya beliau berpegang pada pendapat mazhab Hambali yaitu adanya fidyah jika wanita hamil atau menyusui khawatir pada anaknya. Beliau berkata:
“Dalam setiap keadaan, tetap wajib meng-qadha. Karena Allah Ta’ala telah mewajibkan puasa kepada setiap muslim. Dan Allah berfirman kepada musafir dan orang sakit:
فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ
Padahal musafir dan orang sakit boleh tidak puasa karena adanya udzur, namun qadha tidak gugur bagi mereka. Dengan demikian, orang yang mendapat udzur namun dalam keadaan santai itu min bab al aula (lebih layak) untuk tidak gugur qadha-nya.
Adapun tentang fidyah, ada tiga kondisi:
Pertama, jika khawatir pada dirinya sendiri, wajib meng-qadha saja, tidak ada tambahan lain.
Kedua, jika khawatir pada janin atau anak yang di susui, wajib meng-qadha dan membayar fidyah. Wajib meng-qadha, sudah jelas perkaranya, karena mereka tidak berpuasa. Adapun fidyah, dikarenakan mereka tidak berpuasa dalam rangka kemaslahatan orang lain, sehingga wajib membayar fidyah.
Ibnu Abbas -radhiallahu’anhu- menafsirkan ayat :
وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ
“Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin” (QS. Al Baqarah: 184)
Ibnu Abbas berkata:
كانت رخصة للشيخ الكبير والمرأة الكبيرة وهما يطيقان الصيام يفطران ويطعمان عن كل يوم مسكيناً، والمرضع والحبلى إذا خافتا على أولادهما أفطرتا وأطعمتا” ، رواه أبو داود
‘Ini merupakan keringanan bagi orang tua renta, yang mereka tidak mampu berpuasa, mereka membayar fidyah. Dan juga hamil dan wanita menyusui jika khawatir kepada anaknya, maka mereka juga boleh tidak puasa dan membayar fidyah‘ (HR. Abu Daud)
Hal ini juga diriwayatkan dari Ibnu ‘Umar
Ketiga, jika khawatir pada janin yang dikandung -penulis zaadul mustaqni tidak menyebut kondisi ini, mazhab hambali juga masukkan hal ini sebagai maslahah sang ibu- , wajib baginya untuk meng-qadha”
[Dinukil dari Syarhul Mumti' Syarh Zaadil Mustaqni, 6/223]
Terdapat riwayat dalam Al Mushannaf Abdurrazaq (4/218) bahwa Ibnu ‘Abbas radhiallahu’anhu memiliki pendapat lain yaitu beliau mewajibkan qadha tanpa fidyah.
عن الثوري ، وعن ابن جريج عن عطاء عن ابن عباس قال : تفطر الحامل والمرضع في رمضان ، وتقضيان صياما ولا تطعمان
“Dari Ats Tsauri, dari Ibnu Juraij, dan Atha’, dari Ibnu Abbas, beliau berkata: ‘Wanita hamil dan menyusui boleh berbuka di bulan Ramadhan, mereka berdua wajib meng-qadha tanpa fidyah‘”
Riwayat ini sanadnya shahih, semua perawinya tsiqah dan merupakan para perawi yang dipakai Bukhari-Muslim. Adapun Ibnu Juraij yang sering melakukan tadlis, karena dalam riwayat ini ia meriwayatkan secara ‘an’anah dari ‘Atha, maka dianggap sebagai sima’ dan tetap diterima. Sebagaimana diketahui dalam ilmu hadits, jika mudallis meriwayatkan dengan ‘an’anah dari orang yang ia biasa diambil haditsnya oleh perawinya, maka tetap diterima.
Karena tidak diketahui mana pendapat Ibnu ‘Abbas yang terakhir, maka dapat kita katakan bahwa dalam hal ini Ibnu ‘Abbas memiliki 2 pendapat. Wallahu’alam.
Terdapat juga riwayat lain dalam Sunan Al Kubra Al Baihaqi, dari Ibnu ‘Umar bahwa beliau meralat pendapatnya. Beliau ruju’ kepada pendapat mewajibkan qadha saja tanpa fidyah.
عن ابن عمر أن امرأة حبلى صامت في رمضان فاستعطشت ، فسئل عنها ابن عمر : فأمرها أن تفطر وتطعم كل يوم مسكينا مدا ثم لا يجزيها فإذا صحت قضت
“Dari Ibnu Umar, ada seorang wanita hamil yang berpuasa di bulan Ramadhan, kemudian ia melahirkan. Wanita ini bertanya kepada Ibnu ‘Umar, lalu beliau memerintahkan wanita tersebut untuk tidak berpuasa dan membayar fidyah. Kemudian setelah itu, Ibnu ‘Umar tidak membolehkannya, ia memerintahkan jika ia sudah sehat ia wajib meng-qadha” (HR. Al Baihaqi dalam Sunan Al Kubra, 4/230)
Syaikh Abu ‘Umar Usamah Al’Utaibi menyatakan bahwa sanad riwayat tersebut terdapat kritikan. Karena dalam sanadnya terdapat Muhammad bin Abdirrahman bin Abi Labibah. Ibnu Hajar berkata: “Ia lemah, sering memursalkan hadits” (Taqrib At Tahdzib, no.6080).
Terdapat penguat dari riwayat lain untuk riwayat Ibnu ‘Abbas dalam Al Muhalla (4/251) milik Ibnu Hazm:
كَمَا رُوِّينَا مِنْ طَرِيقِ عَبْدِ الرَّزَّاقِ عَنْ ابْنِ جُرَيْجٍ عَنْ عَطَاءٍ عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ: تُفْطِرُ الْحَامِلُ، وَالْمُرْضِعُ فِي رَمَضَانَ وَيَقْضِيَانِهِ صِيَامًا وَلا إطْعَامَ عَلَيْهِمَا
“Sebagaimana yang kami riwayatkan, dari Abdurrazaq, dari Ibnu Juraij, dari ‘Atha, dari Ibnu ‘Abbas, beliau berkata: ‘Wanita hamil dan menyusui boleh berbuka di bulan Ramadhan, mereka berdua wajib meng-qadha tanpa fidyah‘”
Menurut Syaikh Abu ‘Umar Usamah Al’Utaibi, adanya kesamaan sanad antara riwayat ini dengan riwayat Ibnu ‘Umar dalam Sunanul Kubra Al Baihaqi, ada 2 kemungkinan:
Pertama, mungkin ‘Abdurrazaq salah dalam menyebut Ats Tsauri
Kedua, mungkin Ats Tsauri Ibnu ‘Abbas memiliki fatwa serupa dengan Ibnu ‘Umar Ibnu ‘Abbas5.
Kedua kemungkinan ini tidak menafikan keshahihan sanadnya.
Dengan demikian, pendapat yang menyatakan wajib qadha tanpa fidyah untuk semua keadaan didukung pula oleh Ibnu ‘Abbas dan Ibnu ‘Umar, bahkan Ibnu ‘Abbas menyatakan meralat pendapatnya. Ini pun sekaligus membantah pendapat adanya fidyah bagi yang khawatir kepada anaknya.
***BATASAN QADHA PUASA***
Barangsiapa yang belum mengqadha puasa Ramadhan yang lalu, kemudian sudah datang lagi Ramadhan berikutnya, maka harus dilihat dulu alasan penundaan (ta`khir) qadha tersebut. Jika penundaan itu karena ada udzur (alasan syar’i), seperti sakit, nifas, menyusui, atau hamil, maka tidak mengapa. Demikian menurut SELURUH MAZHAB TANPA ADA PERBEDAAN PENDAPAT, sebab yang bersangkutan dimaafkan karena ada udzur dalam penundaan qadha`-nya.
Namun jika penundaan qadha` itu tanpa ada udzur, maka para ulama berbeda pendapat dalam dua pendapat :
Pendapat Pertama, pendapat jumhur, yaitu Imam Malik, Ats-Tsauri, Asy-Syafi’i, Ahmad, dan lain-lain berpendapat orang tersebut di samping tetap wajib mengqadha`, dia wajib juga membayar fidyah, yaitu memberi makan seorang miskin untuk setiap hari dia tidak berpuasa. Fidyah ini adalah sebagai kaffarah (penebus) dari penundaan qadha`-nya. Demikian penuturan Imam Ibnu Qudamah dalam kitabnya Al-Mughni Ma’a Asy-Syarh Al-Kabir, II/81 (Dikutip oleh Yusuf al-Qaradhawi, Fiqhush Shiyam, [Kairo : Darush Shahwah], 1992, hal. 64).
Pendapat pertama ini terbagi lagi menjadi dua : (1) Menurut ulama Syafi’iyah, fidyah tersebut berulang dengan berulangnya Ramadhan (Abdurrahman Al-Jaziri, Al-Fiqh Ala al-Mazahib Al-Arba’ah Kitabush Shiyam (terj), hal. 109). (2) Sedangkan menurut ulama Malikiyah dan Hanabilah, fidyah hanya sekali, yakni tidak berulang dengan berulangnya Ramadhan (Wahbah Az-Zuhaili, Al-Fiqhul Islami wa Adillatuhu, II/680).
Dalil pendapat pertama ini, yakni yang mewajibkan fidyah di samping qadha karena adanya penundaan qadha` hingga masuk Ramadhan berikutnya, adalah perkataan sejumlah sahabat, seperti Ibnu Umar, Ibnu Abbas, dan Abu Hurairah (Imam Syaukani, Nailul Authar, [Beirut : Dar Ibn Hazm], 2000, hal. 872). Ath-Thahawi dalam masalah ini meriwayatkan dari Yahya bin Aktsam,”Aku mendapati pendapat ini dari enam sahabat yang tidak aku ketahui dalam masalah ini ada yang berbeda pendapat dengan mereka.” (wajadtuhu ‘an sittin min ash-shahabati laa a‘lamu lahum fiihi mukhalifan).(Mahmud Abdul Latif Uwaidhah, Al-Jami’ li Ahkam Ash-Shiyam, [Beirut : Mu`assasah Ar-Risalah], 2002, hal. 210).
Imam Syaukani menjelaskan dalil lain bagi pendapat pertama ini. Yaitu sebuah riwayat dengan isnad dhaif dari Abu Hurairah RA dari Nabi SAW tentang seorang laki-laki yang sakit di bulan Ramadhan lalu dia tidak berpuasa, kemudian dia sehat namun tidak mengqadha` hingga datang Ramadhan berikutnya. Maka Nabi SAW bersabda,”Dia berpuasa untuk bulan Ramadhan yang menyusulnya itu, kemudian dia berpuasa untuk bulan Ramadhan yang dia berbuka padanya dan dia memberi makan seorang miskin untuk setiap hari [dia tidak berpuasa].” (yashuumu alladziy adrakahu tsumma yashuumu asy-syahra alladziy afthara fiihi wa yuth’imu kulla yaumin miskiinan). (HR Ad-Daruquthni, II/197). (Imam Syaukani, Nailul Authar, hal. 871; Wahbah Az-Zuhaili, Al-Fiqhul Islami wa Adillatuhu, II/689).
Pendapat Kedua, pendapat Imam Abu Hanifah dan para sahabatnya, Imam Ibrahim An-Nakha`i, Imam al-Hasan Al-Bashri, Imam Al-Muzani (murid Asy-Syafi’i), dan Imam Dawud bin Ali. Mereka mengatakan bahwa orang yang menunda qadha` hingga datang Ramadhan berikutnya, tidak ada kewajiban atasnya selain qadha`. Tidak ada kewajiban membayar kaffarah (fidyah) (Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid, I/240; Wahbah Az-Zuhaili, Al-Fiqhul Islami wa Adillatuhu, II/240; Mahmud Abdul Latif Uwaidhah, Al-Jami’ li Ahkam Ash-Shiyam, hal. 210).
Dalil ulama Hanafiyah ini sebagaimana dijelaskan Wahbah Az-Zuhaili dalam Al-Fiqhul Islami wa Adillatuhu (II/240). adalah kemutlakan nash Al-Qur`an yang berbunyi “fa-‘iddatun min ayyamin ukhar” yang berarti “maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain.” (QS Al-Baqarah [2] : 183).
Perlu ditambahkan bahwa dalam masalah menunda qadha` (ta`khir al-qadha`), Imam Abu Hanifah memang membolehkan qadha` puasa Ramadhan kapan saja walau pun sudah datang lagi bulan Ramadhan berikutnya. Dalilnya adalah kemutlakan nash Al-Baqarah : 183. Dalam kitab Al-Jami’ li Ahkam Ash-Shiyam, hal. 122, dinukilkan oleh penulisnya bahwa Imam Abu Hanifah berkata,”Kewajiban mengqadha puasa Ramadhan adalah kewajiban yang lapang waktunya tanpa ada batasan tertentu, walaupun sudah masuk Ramadhan berikutnya.” (wujuubu al-qadhaa`i muwassa’un duuna taqyiidin walaw dakhala ramadhan ats-tsaniy).
Sedang jumhur berpendapat bahwa penundaan qadha` selambat-lambatnya adalah hingga bulan Sya’ban dan tidak boleh sampai masuk Ramadhan berikutnya. Dalil pendapat jumhur ini adalah hadits yang diriwayatkan oleh At-Tirmidzi, Ibnu Khuzaimah, dan Ahmad dari ‘A`isyah RA dia berkata,”Aku tidaklah mengqadha` sesuatu pun dari apa yang wajib atasku dari bulan Ramadhan, kecuali di bulan Sya’ban hingga wafatnya Rasulullah SAW.” (maa qadhaytu syai`an mimmaa yakuunu ‘alayya min ramadhaana illaa sya’baana hatta qubidha rasulullahi shallallahu ‘alaihi wa sallama) (Mahmud Abdul Latif Uwaidhah, Al-Jami’ li Ahkam Ash-Shiyam, [Beirut : Mu`assasah Ar-Risalah], 2002, hal. 122).
Mengenai wajib tidaknya fidyah atas orang yang menunda qadha` Ramadhan hingga datang Ramadhan berikutnya, pendapat yang rajih adalah pendapat Imam Abu Hanifah, Ibrahim An-Nakha`i, dan lain-lain. Pendapat ini menyatakan bahwa orang yang menunda qadha` hingga masuk Ramadhan, hanya berkewajiban qadha`, tidak wajib membayar fidyah.
Hal itu dikarenakan kewajiban membayar fidyah bagi orang yang menunda qadha` Ramadhan hingga masuk Ramadhan berikutnya, membutuhkan adanya dalil khusus dari nash-nash syara’. Padahal tidak ditemukan nash yang layak menjadi dalil untuk kewajiban fidyah itu. (Mahmud Abdul Latif Uwaidhah, Al-Jami’ li Ahkam Ash-Shiyam, hal.210).
Adapun dalil hadits Abu Hurairah yang dikemukakan, adalah hadits dhaif yang tidak layak menjadi hujjah (dalil). Imam Syaukani berkata,”…telah kami jelaskan bahwa tidak terbukti dalam masalah itu satu pun [hadits shahih] dari Nabi SAW.” (Imam Syaukani, Nailul Authar, hal. 872). Yusuf al-Qaradhawi meriwayatkan tarjih serupa dari Shiddiq Hasan Khan dalam kitabnya Ar-Raudatun An-Nadiyah (I/232),”…tidak terbukti dalam masalah itu sesuatu pun [hadits sahih] dari Nabi SAW.” (Yusuf Al-Qaradhawi, Fiqhush Shiyam, hal. 64).
Pendapat beberapa sahabat yang mendasari kewajiban fidyah itu, adalah dasar yang lemah. Sebab pendapat sahabat –yang dalam ushul fiqih disebut dengan mazhab ash-shahabi atau qaul ash-shahabi— bukanlah hujjah (dalil syar’i) yang layak menjadi sumber hukum Islam. Imam Syaukani berkata,”Pendapat yang benar bahwa qaul ash-shahabi bukanlah hujjah [dalil syar’i].” (Imam Syaukani, Irsyadul Fuhul, hal. 243). Imam Taqiyuddin an-Nabhani menegaskan,”…mazhab sahabat tidak termasuk dalil syar’i.” (Taqiyuddin An-Nabhani, Asy-Syakhshiyyah Al-Islamiyah, III/411).
Mengenai periwayatan ath-Thahawi dari Yahya bin Aktsam bahwa dia berkata,”Aku mendapati pendapat ini dari enam sahabat yang tidak aku ketahui dalam masalah ini ada yang berbeda pendapat dengan mereka”, tidaklah dapat diterima. Mahmud Abdul Latif Uwaidhah dalam Al-Jami’ li Ahkam Ash-Shiyam hal.210 mengatakan,”Sesungguhnya riwayat-riwayat dari sahabat ini tidaklah terbukti, sebab riwayat-riwayat itu berasal dari jalur-jalur riwayat yang lemah [dhaif]. Maka ia wajib ditolak dan tidak boleh ditaqlidi atau diikuti.”
***KESIMPULAN***
1. Wanita hamil dan menyusui wajib mengqadha puasa di hari lain. ini pendapat dari SELURUH MAZHAB DAN JUMHUR ULAMA SALAF. Pengecualian bagi yang hanya khawatir terhadap anaknya atau janinnya sedangkan ia sendiri MAMPU, menurut mazhab hambali selain qadha juga membyar fidyah. dan pendapat mazhab syafi'i utk membayar fidyah + qadha berlaku khusus bagi ibu menyusui, sedang bagi ibu hamil cukup qadha saja.
** setelah kami pelajari dari ilmu laktasi memang kualitas dan kuantitas ASI tidak berubah saat puasa. Selama ibu bisa menjaga stabilnya hormon prolaktin dan oksitosin, produksi ASI pun tetap stabil sehingga, tidak ada yg perlu dikhawatirkan dengan ASInya. (cek dokumen Sukses NgASI, Sukses Puasa : http://www.facebook.com/groups/tanya.asi/doc/10150983992211026/).
** Bagi wanita hamil nutrisi janin akan mengambil nutrisi dari cadangan di tubuh ibu, jadi selama selama ibu sehat dan mampu/kuat maka bukan halangan untuk berpuasa.
2. Perihal batasan qadha puasa, pendapat yang paling kuat adalah bahwa membayar qadha diutamakan untuk disegerakan dan dilakukan sampai dengan menjelang ramadhan berikutnya. Jika tidak, maka berdosa sehingga wajib bertaubat namun tetap mengqadha pada hari lain walau telah melewati bulan ramadhan lagi. Tetapi bagi yang mempunyai udzur (misal: menyusui & hamil) sehingga belum mampu untuk menunaikan qadha sampai dengan ramadhan berikutnya maka dia tidak berdosa dan tetap mengqadha puasa di hari lain. akan tetapi ada juga pendapat dari sebagian ulama bahwa jika sampai dengan ramadhan berikutnya belum mengqadha puasa sedangkan dia tidak mempunyai udzur, maka wajib pula baginya membayar fidyah selain qadha.
wallahua'lam bish-shawab
ref:
- http://www.ahlalhdeeth.com/vb/showthread.php?t=4563
- http://kangaswad.wordpress.com/2010/08/05/permasalahan-qadha-fidyah-wanita-hamil-dan-menyusui/
- http://rumaysho.com/hukum-islam/puasa/3165-apakah-wanita-hamil-dan-menyusui-cukup-fidyah-tanpa-qodho.html
0 comments:
Post a Comment